15 Anotasi Karya Astronomi Islam

28 Desember 2013
PADA penghujung tahun 2013 penulis melakukan survei karya tulis astronomi Islam yang berkembang di Indonesia. Data bersumber dari toko buku dan perpustakaan. Hasil survei menunjukkan selama tahun 2013 ditemukan 15 karya tulis yang dihasilkan oleh para pengkaji dan pemerhati studi astronomi Islam. Sebagian besar karya-karya tersebut membicarakan persoalan awal bulan kamariah dan arah kiblat. Selengkapnya perhatikan uraian berikut ini.

1. Studi Ilmu Falak Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, buku ini ditulis oleh Ahmad Azzam dan Iman Saifullah. Buku ini terdiri empat bab, meliputi pembahasan sejarah dan peradaban ilmu falak, dasar-dasar astronomi sebagai penunjang ilmu falak, dan aplikasi ilmu falak. Dalam proses perhitungan awal waktu salat menggunakan markaz kota Jakarta, sedangkan dalam proses perhitungan arah kiblat menggunakan markaz kota Garut.

2. Penemu Ilmu Falak Pandangan Kitab Suci dan Peradaban Dunia, buku ini ditulis oleh Nur Hidayatullah al-Banjary. Buku ini berusaha menelusuri asal-usul penemu ilmu falak. Selama ini para astronom barat dan ulama falak berpandangan bahwa nabi Idris as adalah salah seorang penemu ilmu falak. Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa pandangan tersebut tidak didukung data dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya pula nabi Idris bukanlah penemu ilmu falak tetapi merupakan salah seorang tokoh penemu ilmu Astrologi. Pendapat ini dirujuk dari kitab “Sabaik adz-Dzahab fi Ma’rifati Qabail al-‘Arab” karya as-Suwaidi.

3. Awal Berbeda, Akhir Bersama ditulis oleh M. Zaid Wahyudi dan dimuat dalam harian KOMPAS. Menurutnya perbedaan dalam mengawali Ramadan tidak akan menimbulkan gesekan seperti mengakhiri Ramadan. Namun hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda penyatuan awal bulan hijriah segera. Setidaknya potensi beda masih akan terjadi dalam penentuan Ramadan dan Idul Adha tahun 2014.

4. Problem Kalender Islam ditulis oleh Susiknan Azhari dan dimuat di harian REPUBLIKA. Menurutnya kehadiran kalender Islam yang mapan merupakan sebuah kebutuhan untuk agenda dan aktivitas rutin ibadah maupun transaksi lainnya. Aktivitas ibadah puasa Ramadan, puasa sunah pertengahan bulan Islam, dan perhitungan zakat memerlukan kepastian jadwal. Kaitannya dengan penyatuan kalender Islam peristiwa perjanjian Hudaibiyah dapat dijadikan inspirasi bagi para elite bangsa untuk memiliki sifat kenegarawanan. Pemerintah dan ormas-ormas Islam harus senantiasa berusaha mencari titik temu, siap berkorban, dan tidak harus merasa menang-kalah demi tercapainya kebersamaan dalam rangka mewujudkan kalender Islam terpadu yang sesuai tuntutan syar’i dan sains.

5. Hisab dan Rukyat Semestinya Saling Mengisi ditulis oleh Mohammad Ali Hisyam dan dimuat di harian JAWA POS. Tulisan ini merupakan resensi terhadap buku karya Agus Mustofa yang berjudul “Jangan Asal Ikut-ikutan Hisab dan Rukyat”. Menurutnya untuk mempertemukan hisab dan rukyat diperlukan pemimpin yang tegas, kuat dan adil. Pada level apapun, kehadiran pemimpin seperti ini lebih bisa diharapkan mampu menjamin harmoni dan kekompakan dalam banyak hal. Ingat, kasus sidang isbat 2012 dan 2013 yang tidak dihadiri salah satu pihak menunjukkan bukti krisis kepercayaan yang salah satunya bermuara dari lemahnya kepemimpinan.

6. Mendamba Takwim Indonesia ditulis oleh Mahmudi Asyari dan dimuat di harian SUARA MERDEKA. Menurutnya penyatuan kalender Islam memerlukan kebesaran hati semua pihak. Hal ini mengingat metode penentuan awal bulan kamariah merupakan hasil ijtihad sehingga terbuka untuk diperbarui sesuai konteks zamannya.

7. Sidang Isbat, Masih Diperlukan? ditulis oleh H Iip Wijayanto dan dimuat di harian KEDAULATAN RAKYAT. Menurutnya sidang isbat yang ujung-ujungnya jadi ajang unjuk dalil dan penghakiman satu pihak kepada pihak lain sebaiknya dihapuskan saja. Apalagi kadang justru memperuncing perbedaan di tengah-tengah umat Islam. Biarlah kapan orang akan mulai berpuasa, kapan berhari raya dikembalikan kepada kedewasaan mereka masing-masing bersandarkan kepada ulama yang mereka yakini dan dalil yang mereka imani.

8. Syuhud as-Syahr dan Puasa Ramadhan ditulis oleh H. A. Ya’kub Matondang, di harian WASPADA. Menurutnya kata “syahida” (menyaksikan) dalam Q. 02: 185. Dengan mengutip pendapat para ulama, kata “syahida” dalam ayat itu dipandang memiliki ragam makna sehingga membuka interpretasi beragam. Dengan mengutip pendapat para ulama, disimpulkan bahwa menyaksikan bulan adalah sarana, sedangkan yang menjadi tujuan adalah puasa. Dalam praktiknya menyaksikan masuknya bulan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti rukyat, hisab, kesaksian orang terpercaya, dan menggenapkan bulan. Pada prinsipnya, yang menjadi tujuan (dalam hal ini puasa) bersifat tetap, sementara cara dan sarana menetapkan masuknya bulan dapat berubah sesuai perkembanagn budaya, ilmu dan teknologi. Dengan mengutip Yusuf al-Qaradhawi, penulis artikel menyimpulkan bahwa penggunaan hisab termasuk qiyas awlawi dengan pengertian bahwa as-Sunnah menyuruh untuk menggunakan sarana terendah (rukyat), tentunya tidak menolak penggunaan sarana yang lebih utama (hisab). Dibagian akhir, penulis artikel menyatakan bahwa keragaman pandangan ulama tentang tafsir “syahida” sejatinya memperluas wawasan pemikiran dan merupakan kelapanagn bagi umat, dan bahwa tafsiran ini merupakan bagian ijtihad yang perlu dihargai dan tidak saling mengingkari sesuai kaidah “la inkara fi al-masa’il al-ijtihadiyah”.

9. Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat, buku ini ditulis oleh Slamet Hambali. Buku ini merupakan hasil penelitian tesis yang mencoba menawarkan metode pengukuran arah kiblat yang baik dan profesional yang diistilahkan “metode pengukuran arah kiblat dengan segitiga siku-siku dari bayangan matahari setiap saat”. Metode ini telah diujikan dua kali di rumah penulis dan empat kali di Masjid Agung Jawa Tengah. Semuanya hasilnya sama meskipun waktunya berbeda.

10. Kalender Hijriah Universal Kajian atas Sistem dan Prospeknya di Indonesia, buku ini ditulis oleh Muh. Nashirudin. Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi yang mencoba mengangkat penyatuan kalender Islam yang dilakukan oleh Muhammad Odeh. Menurutnya kunci utama penyatuan kalender bukan pada upaya menyatukan hari untuk satu tanggal yang sama, tetapi menyeragamkan pelaksanaan ibadah dengan menggunakan batas tanggal hijriah berdasarkan ketampakan atau potensi ketampakan sesuai kriteria astronomi.

11. Pembaruan Kriteria Visibilitas Hilal dan Peluangnya terhadap Penyatuan Kalender Hijriah di Indonesia (Studi Pemikiran LP2IF-RHI), artikel ini ditulis oleh Marwadi dan dimuat dalam jurnal Al-Manahij, Vol, VII, No. 1, Januari 2013. Menurutnya kriteria visibilitas hilal RHI mempunyai peluang untuk menyatukan kalender hijriah di Indonesia. Apalagi jika Muhammadiyah bergeser dari wujudul hilal menuju visibilitas hilal.

12. Kalender Kamariah Islam Unifikatif Satu Hari Satu Tanggal di Seluruh Dunia, buku ini awalnya berbahasa Arab yang ditulis oleh Jamal Eddine Abdurrazik yang berjudul “At-Taqwim al-Qamari al-Islami al-Muwahhad” yang diterbitkan oleh Marsam Rabat, Maroko pada tahun 2004 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsul Anwar. Buku ini berusaha merespons salah satu problem besar umat Islam dalam menentukan awal bulan kamariah, khususnya Ramadan dan Syawal dengan merancang satu sistem Kalender Islam Terpadu. Menurut Jamal Eddine ada tiga aspek kalender yang memerlukan ketegasan fikih. Pertama masalah penggunaan hisab untuk penentuan awal bulan. Kedua, masalah transfer imkanur rukyat. Ketiga, masalah penentuan garis batas tanggal untuk menentukan dimana hari dimulai.

13. Isbat Ramadan, Syawal & Zulhijah Menurut Al-Kitab & Sunnah, buku ini ditulis oleh Ali Mustafa Yaqub. Di dalamnya diuraikan permasalahan seputar hisab dan rukyat, meliputi perdebatan antara wujudul hilal dan visibilitas hilal, metode kontemporer dalam menetapkan awal bulan kamariah, penyeragaman kalender hijriah secara internasional, dan berbagai fatwa seputar penentuan awal bulan kamariah.

14. Jangan Asal Ikut-Ikutan Hisab dan Rukyat, buku ini ditulis oleh Agus Mustafa. Menurutnya antara hisab dan rukyat sangat mungkin dipadukan. Asalkan semua pihak rela dan ikhlas menerima persepsi kelompok lain dan tidak mengklaim argumentasinya sebagai yang mutlak benar. Oleh karena itu diperlukan pemimpin yang tegas, kuat, dan adil.

15. Kakbah dan Problematika Arah Kiblat, buku ini ditulis oleh Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar. Menurutnya dalam khazanah keilmuan fikih Islam, diskursus kiblat adalah tema yang tidak luput dibicarakan oleh para ulama seperti tertera dalam karya-karya mereka. Di dalamnya ditemukan berbagai tata cara, dialektika dan problematika mengenai penentuan arah kiblat. Menurutnya pula bahwa penentuan arah kiblat merupakan persoalan ijtihad yang sangat terkait dengan keimanan, keilmuan, sarana dan prasarana.

Bukit Angkasa, 25 Safar 1435/ 28 Desember 2013, pukul 03.30 AM

Susiknan Azhari

Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam

Leave a Reply