Astronomi Islam

19 Februari 2012

[box] Astrologi atau ‘Nujum’ atau ‘Tanjim’ adalah suatu kepandaian untuk mengetahui nasib atau karakter seseorang di masa yang akan datang dengan menghubungkannya dengan situasi benda-benda di langit. Diantara kerja Astrologi adalah menerka keadaan seseorang melalui ‘thali’ (kelahiran) yang tertera dalam buku petunjuk ramalan (Horoskop).[/box]

Prolog
Astronomi terhitung sebagai cabang ilmu alami tertua yang banyak mendapat perhatian manusia sepanjang sejarahnya. Kegiatan astronomi sudah berkembang sejak jauh sebelum Islam datang. Pengetahuan manusia terhadap astronomi pada awalnya hanya sebatas pengamatan alami seperti mengamati terbit tenggelam Bulan & Matahari, planet-planet, bintang-bintang, mengamati keadaan dan perubahan angin (cuaca) sepanjang tahun untuk menentukan jadwal perjalanan dan perdagangan, menentukan hari-hari ritual agama & sosial, dll. Aktifitas pengamatan ini tak jarang dikaitkan dengan menelaah situasi alam (al kawn) dengan menghubungkannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak seperti peramalan karakter & nasib seseorang di masa depan yang dikenal dengan ‘nujum’ atau astrologi.
Astronomi seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi istimewa. Astronomi adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat kecaman dari Islam dan orang-orang Islam karena peranannya yang demikian signifikan dalam ibadah. Dulu, dan hingga kini, Astronomi mendapat tempat terhormat di mesjid-mesjid dan dihargai oleh para ahli agama (fuqaha’) sekaligus merupakan satu-satunya ilmu eksak Islam yang bertahan hingga era modern.
Kajian Astronomi banyak mendapat perhatian dari para peneliti dan sejarawan disebabkan antara lain: banyaknya ulama astronomi Islam yang berkecimpung sepanjang sejarah, banyaknya karya-karya (mu’allafat) yang dihasilkan, banyaknya observatorium astronomi (marashad al falakiyyah) yang berdiri sebagai akses dari banyaknya astronom serta karya-karya mereka, serta banyaknya data observasi (pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman (Pakar Astronomi Mesir) mengatakan “Astronomi adalah miniatur terhadap majunya peradaban sebuah bangsa”.

Terminologi Astronomi
Dalam Islam, istilah Astronomi disebut dengan ‘Falak’. ‘Falak’ atau ‘aflak’ dalam bahasa Arab bermakna orbit atau edar benda-benda angkasa. Di dalam al Qur’an disebutkan: “wa kullun fi falaki[n] yasbahun” (dan masing-masing beredar pada garis edarnya) [QS. Yasin [36] : 40]. Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam ‘Muqaddimah’nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang beterbangan. Makna yang hampir sama dikemukakan al Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al ‘Ulmu’nya.
Dalam khazanah intelektual Islam klasik (turats), Falak atau Astronomi disebut dengan beragam penamaan, antara lain ‘hay’ah’ yaitu ilmu tentang susunan alam, karena keterkaitannya dengan susunan-susunan orbit alam (tarkib al aflak), kuantitas planet-planet, konfigurasi rasi-rasi bintang dalam jarak, volume, gerak, dll. Falak atau Astronomi – dahulu – disebut juga dengan ‘nujum’ atau ‘tanjim’ dan terkadang disebut dengan ‘shina’ah an nujum’ yaitu ilmu tentang hukum-hukum perbintangan atau ‘astronomi yudisial’. Disamping nama-nama di atas, dalam peradaban Islam, khusunya di abad pertengahan, dikenal juga istilah ‘miqat’ yang secara bahasa bermakna ‘waktu’. Miqat adalah satu cabang dari disiplin Astronomi Islam yang berkaitan dengan urusan penentuan waktu, diantaranya penentuan waktu-waktu salat yang lima dan penentuan kiblat sebuah mesjid, serta penentuan/perhitungan yang bersifat astronomis yang berkaitan dengan ibadah umat Islam. Pada umumnya profesi ini ditekuni oleh seorang ahli Astronomi yang disegani yang ditugaskan di satu mesjid atau institusi agama yang difasilitasi oleh penguasa (sulthan). Pelaku ‘miqat’ disebut dengan ‘miqaty’ atau ‘muwaqqit’ yaitu ahli penentu waktu. Diantara muwaqqit Islam yang pernah ada adalah Ibnu Syathir (w. 777 H) yang bertugas sebagai penentu waktu (muwaqqit) Masjid Umawi di Damaskus-Syria & Sibthil Mardini (w. 912 H) yang bertugas di Masjid Al Azhar Kairo, dll.
Disamping istilah-istilah di atas, terdapat satu istilah lagi yang juga berhubungan dengan Astronomi, yang berkembang dalam tradisi Astronomi Islam, yaitu Anwa’ atau Naw’, yaitu sekumpulan hasil perhitungan yang dipersiapkan untuk suatu kegiatan sosial dan keagamaan (al a’yad) yang dikaitkan dengan terbit dan tenggelamnya planet-planet atau benda-benda langit tertentu dengan memanfaatkan bilangan tahun Matahari dan membaginya dalam periode-periode tertentu. Dalam terminologi modern, Anwa’ dapat diterjemahkan dengan ilmu Meteorologi & Geofisika.

Sumber-Sumber Astronomi Islam
Seperti ilmu-ilmu lainnya, Astronomi Islam berkembang melalui gerakan penerjemahan karya-karya astronomi asing khususnya astronomi India, Yunani dan Persia. Astronomi Yunani paling banyak mempengaruhi corak astronomi dalam Islam. Di masa Abbasiyah, Astronomi mendapat perhatian luar biasa dari penguasa dengan banyaknya dana yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan diskusi dan observasi astronomi. Di masa Abbasiyah ini pula Astronomi Islam menemukan karakternya yang matang.
Al Qifthy (w. 646 H) menyebutkan, ulama Islam yang pertama sekali menekuni ilmu falak adalah Ibrahim al Fazzari (w. ± 180 H), ia adalah orang yang pertama kali membuat perkakas astronomi Astrolabe (usthurlab) dalam Islam, ia juga memiliki banyak karya dalam astronomi. Di masa pemerintahan Abbasiyah, Ibrahim al Fazzari bersama Ya’kub bin Thariq (w. abad 2 H) mendapat amanah untuk menerjemahkan buku astronomi berbahasa asing kedalam bahasa Arab yaitu buku Sind Hind. Akhirnya sejarah mencatat Ibrahim al Fazzari dan Ya’kub bin Thariq adalah orang yang pertama mentransfer astronomi India kedalam bahasa dan dunia Arab. Tidak berapa lama, buku ‘Al Magest’ atau ‘Tata Agung’ karya monumental Claudius Ptolemaus (abad ke 2 M) juga berhasil diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunain (w. 911 M), seorang Kristen & Tsabit bin Qurrah (w. 288 H), – konon – seorang Yahudi.
Dalam perkembangannya, astronomi Islam banyak terpengaruh oleh dua peradaban India & Yunani ini yang termanifestasikan dalam dua buku di atas (baca: Sind Hind & Al Magest). Berbagai karya astronomi Islam yang datang kemudian senantiasa bernuansa dua buku ini. Astronom-astronom Islam terus mempelajari dan mengembangkan teori yang ada dalam dua karya ini hingga lebih akurat. Diantara hasil kreasi cemerlang Astronomi Islam adalah lahirnya satu produk astronomi yang dihasilkan melalui observasi rutin yang terdokumentasikan yang disebut dengan ‘zayj’ atau ‘Zig’ atau ‘al jadawil al falakiyyah’, yaitu berupa tabel astronomi yang berisi data-data astronomis pergerakan harian, bulanan dan tahunan Bulan & Matahari (an nayyirain), planet-planet yang 7 (al kawakib as sab’ah) dan benda-benda angkasa lainnya. Salah satu bentuk perluasan dari ‘zayj’ atau ‘Zig’ ini adalah kalender sivil yang banyak beredar saat ini, alamanak, ephemiris, dll.
Disamping pengaruh India dan Yunani, astronomi Islam juga terpengaruh astronomi Iran (Persia) khusunya melalui buku ‘Zayj as-Syah’ (Zig Syah) atau Zij Syahryaran yang sempat di kodefikasi beberapa kali pada tahun 450 M, 556 M, 630 M, 640 M. Hanya saja pengaruh astronomi Persia ini tidak sebesar pengaruh Astronomi India dan Yunani. Kata ‘zayj’ atau ‘Zig’ yang juga digunakan dalam terminologi asing berakar dari bahasa Persia.

Karakteristik & Kecendrungan Astronomi Islam
Dalam perkembangannya, astronomi Islam berjalan dalam dua kecendrungan. Pertama, kecendrungan Ptolemaik atau Astronomi Matematis (falak riyadhy). Kedua, kecendrungan alami atau Astrofisika (falak fiziya’iy). Astronomi Ptolemaik atau Astronomi Matematis (falak riyadhy) yang bersumber dari dan oleh Ptolemaus dalam ‘Al Magest’nya menitik beratkan pada perhitungan-perhitungan astronomis benda-benda langit (al ajram as samawiyyah) dan kesesuaiannya yang didasarkan dengan observasi lapangan. Dalam buku Al Magest, seperti diungkap para sejarawan Astronomi, berisi berbagai teori-teori matematis tentang fenomena alam yang selalu disesuaikan pada pengamatan. Seperti dimaklumi, Ptolemaus dalam karyanya itu banyak melakukan pengamatan dan perhitungan terhadap fenomena Gerhana, posisi-posisi Bulan (termasuk hilal), jarak & ukuran planet, dll. Diantara ulama Astronomi Islam yang banyak mengikuti jejak ini adalah Ibnu Sina (w. 428 H) dalam karyanya ‘as Syifa’ bagian riyadhiyyat dan hay’ah.
Sementara Astronomi alami atau thabi’iy (falak fiziya’iy) atau Astrofisika memokuskan pada keserasian dan keselarasan dengan gambaran ilmiah terhadap alam, bersifat paraktis yang terkadang hanya berdasarkan pengamatan tanpa perhitungan matematis yang rinci. Kecendrungan Astronomi model ini sangat banyak menghias dalam literatur-literatur karya astronom Islam, semisal Ghunyatul Fahim wat Thariq ila Hall al Taqwim karya Ibnul Majdi (w. 850 H), Nihayatus Sul fi Tashih al Ushul karya Ibnu Syathir (w. 777 H), dll.
Dari dua kecendrungan di atas, Astronomi Islam berjalan dalam dua manhaj (metode) sekaligus yaitu Teori & Praktik (nazhariy & tathbiqy). Teori (nazhary) tergambar dalam teori-teori astronomi yang dihasilkan yang menitik beratkan pada pemabahasan alam (al kawn) seperti di ilustrasikan oleh para ulama Astronomi terhadap benda-benda langit melalui penelitian terhadap gerak semunya (harakah zhahiriyyah). Sarana atau alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ilmu perhitungan segi tiga bola (hisab al mutsallatsat, spherical astronomy) yang merupakan sarana utama dalam memecahkan persoalan astronomi bola (falak kurawy).
Sementara Astronomi terapan (falak tathbiqy) yang merupakan kreasi cemerlang ulama Astronomi Islam tergambar dalam penerapannya yang bersifat praktik dan praktis. Seperti pengamatan dan perhitungan gerak harian Matahari dalam menentukan waktu shalat. Berikutnya dipola dalam bentuk alat-alat astronomi seperti Rub’ Mujayyab, Mizwalah (Jam Matahari), dll. Hal ini terlukis pula dengan banyaknya observatorium yang dibangun dengan alat-alat astronominya yang hingga kini masih tersimpan dan terjaga dengan baik, namun sebagian lagi sudah musnah atau tidak bisa digunakan lagi. Disamping alat-alat, Astronom Islam juga meninggalkan karya-karya (mu’allafat) yang mayoritasnya saat ini masih mentah (baca: manuskrip) tersebar dipenjuru dunia, menanti sumbangsih para peneliti untuk dimunculkan kepermukaan.

Kreasi Astronomi Islam
Tidak dipungkiri, bangunan astronomi Islam yang terbentuk zaman berzaman nan demikian cemerlang tidak terbentuk dalam satu waktu dan satu kesepakatan, namun melalui proses panjang yang melewati banyak peradaban dengan sentuhan lokalnya masing-masing. Astronomi terbentuk melintasi peradaban Sumeria, Babilonia, Mesir, India, Yunani, Persia, China, dan peradaban-peradab lainnya yang pernah ada dalam kurun beribu-ribu tahun. Terdapat beberapa keistimewaan astronomi Islam dibanding astronomi sebelumnya, yaitu:
1.] Kreasi astronomi Islam senantiasa disertai dengan koreksi ulang (tashih) terhadap teori-teori sebelumnya. Seperti yang dilakuakn al Biruni (w. 440 H), Nashirudin Thusy (w. 672 H), Ibnu Syathir (w. 777 H), dll. terhadap teori-teori Ptolemaus Yunani.
2.] Astronomi Islam tidak hanya terhenti dalam tinjauan teoritis, namun mempolanya dalam bentuk disiplin ilmu baru, seperti Falak Syar’i, Falak ‘Ilmy, Geografi, Matematika, Fisika, Kimia, Kedokteran, dll.
3.] Banyaknya karya-karya tulis dan alat-alat astronomi yang dihasilkan, seperti Astrolabe, Rub’ Mujayyab, Mizwalah, dll., serta karya-karya (manuskrip) yang berlimpah.
Dalam hal perbintangan (astrologi), dimakluni Islam atau fuqaha’ Islam tidak mampu mengikis habis tradisi ini, bahkan praktek ini tetap ada dalam kehidupan sehari-hari hingga kini. Hal ini dapat dimaklumi karena astrogi bicara tentang diri seseorang dengan segala kemungkinan suka dan dukanya.

Astrologi dalam Peradaban Islam
Astrologi atau ‘Nujum’ atau ‘Tanjim’ adalah suatu kepandaian untuk mengetahui nasib atau karakter seseorang di masa yang akan datang dengan menghubungkannya dengan situasi benda-benda di langit. Diantara kerja Astrologi adalah menerka keadaan seseorang melalui ‘thali’ (kelahiran) yang tertera dalam buku petunjuk ramalan (Horoskop). Astrologi lahir berkat perpaduan kreatif lintas peradaban dan tradisi Babilonia, Yunani (Hellenistik), Iran (Persia) dan India. Astrologi sangat berkaitan dengan Astronomi karena keduanya sama-sama menerjemahkan benda langit meski dalam perspektif yang berbeda.
Masyarakat Arab sebelum Islam, bahkan di masa Islam, gemar dengan kegiatan ini. Setelah Islam datang, segala praktek Astrologi ditebas habis, para pelakunya dikecam. Antara lain QS. Al A’raf [7]: 188, QS. Al Jinn [72]: 26, serta hadits-hadit baginda Nabi Saw. menegaskan tidak legalnya kegiatan astrologi ini.
Namun, meski mengecam, Islam (al Qur’an) mengajak manusia untuk merenungi hakikat alam dan fenomena yang dihasilkannya, seperti terlihat dalam ayat-ayat semesta. Manusia diperintah untuk merenung dan memikirkan alam raya. Dari sini, Astronomi menjadi sarana efektif untuk memahami hakikat benda-benda langit. Untuk medapatkan pengetahuan yang bermanfaat dari benda-benda langit, diantaranya al Qur’an kerap mengaitkan waktu-waktu ibadah dengan fenomena semesta khususnya Bulan dan Matahari. Salat ditentukan melalui pergerakan semu Matahari, sementara puasa, hari raya, haji, ‘iddah wanita, haul zakat ditetapkan dengan standar gerak faktual Bulan. Dengan seruan al Qur’an inilah Astronomi tetap dan terus dipelajari manusia sepanjang masa. Wallahu a’lam

***

Cairo, 07 September 2009
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA

Leave a Reply