Bermula dari beda cara pandang menyikapi doktrin keagamaan, Muhammadiyah dan NU selalu berbeda pendapat dalam menentukan awal Ramadan. Model Integrasi menjadi solusi?
Dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki model beragam dalam menggunakan metode hisab dan rukyat. Model pertama, menurut Susiknan Azhari, guru besar ilmu falak UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, adalah konflik.
Pemicunya, persoalan politik dan cara pandang keagamaan dua ormas itu. Muhammadiyah berpandangan, antara wahyu dan akal harus berjalan seirama dalam rangka menuju masyarakat utama. Di sisi lain, NU berpendapat, dalam beragama harus melalui sanad (silsilah keilmuan) yang jelas melalui pendekatan madzhab agar diperoleh kepastian hokum.
Kaitannya dengan persoalan penetapan awal Ramadan dan Syawal, menurut penulis yang juga Direktur Museum Astronomi Islam itu, NU mendasarkan pada rukyatul hilal (melihat hilal). Sebab rukyatul hilal dianggap memiliki sanad yang jelas melalui kitab-kitab yang mu’tabarah (sanadnya tersambung hingga Nabi).
Sementara itu, Muhammadiyah mempertautkan antara dimensi ideal wahyu dan peradaban manusia. Sehingga Muhammadiyah tidak semata-mata menggunakan rukyat, melainkan juga menggunakan hisab (perhitungan). Pada awalnya, hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah imkanur rukyat, kemudian hisab hakiki dengan criteria ijtima’ qabla al-ghurub, dan sejak tahun 1938 M/1357 H hingga kini menggunakan hisab hakiki wujudul hilal.
Adapun model kedua adalah independensi. Model ini untuk menghindari konflik antara hisab dan rukyat. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pragmatis. Lebih baik hisab dan rukyat dipisah dalam dua kawasan yang berbeda. Khususnya dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal, gunak menghindari perbedaan antara Muhammadiyah dan NU.
Model ketiga adalah dialog dengan terbentuknya Badan Hisab dan Rukyat. Model ini memotret hubungan yang konstruktif antara Muhammadiyah dan NU, terutama persoalan hisab dan rukyat. Pada model ini, setiap pihak mencoba saling memahami untuk mencari titik temu dengan memperhatikan aspek kesejajaran metode antara hisab dan rukyat. Dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan dan metode. Namun, model dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual.
Model keempat adalah integrasi, yang merupakan konsekuensi logis dan sekaligus tuntutan alamiah dari pandangan dialog. Namun, sayangnya menurut Susiknan, model ini baru tataran ide, sehingga perlu dibentuk upaya kerja sama akademik dan ilmiah.
Model konflik sangat terasa pada tahun 1992, 1993, dan 1994. Meskipun tidak terjadi kerusuhan dan percekcokan serius antara anggota Muhammadiyah dan NU pada tahun itu, banyak orang merasa bahwa kesucian bulan Ramadan sudah dicemari, dan kekhusyukan beribadah terganggu.
Sebagai solusi, pasca-1994 berkembang model independensi, ketika disadari bahwa perbedaan itu hanya bersifat metodologis dan tidak perlu dibesarkan. Perbedaan antara hisab dan rukyat itu tidak begitu bermakna. Perbedaan itu rahmat. Pada tahun 1998, model dialog berkembang ditandai diadakan Musyawarah Ulama Ahli Hisab Rukyat dan Ormas Islam tentang kriteria Imkanurrukyat di Indonesia.
Kecenderungan ke model integrasi terjadi pada tahun 2003, ketika diadakan Seminar Nasional Hisab dan Rukyat oleh Badan Litbang Agama dan diklat Keagamaan Departemen Agama, yang ditindaklanjuti dengan Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriah pada tanggal 18-19 Desember 2005 oleh Departemen Agama RI.
Dengan munculnya model independensi tidak berarti ciri-ciri model konflik telah hilang. Sama halnya dengan kehadiran model dialog, tidak serta merta ciri-ciri model konflik dan independensi berakhir. Begitu pula kemunculan model integrasi tidak berarti ciri-ciri model sebelumnya juga tidak ada. Dengan kata lain, tipologi hubungan Muhammadiyah dan NU dalam menggunakan hisab dan rukyat lebih bersifat teoritis. Namun pada tataran empiris, terjadi tumpang tindih model yang satu dengan lainnya.
Menurut Susiknan, baik Muhammadiyah maupun NU mengakui eksistensi hisab dan rukyat. Hanya saja, dalam prakteknya, NU mendasarkan pada rukyat, sedangkan Muhammadiyah mendasarkan pada hisab. Bagi NU hisab hanya berfungsi sebagai “pembantu” pelaksanaan rukyatul hilal sedangkan bagi Muhammadiyah hisab berfungsi sebagai “penentu” awal bulan kamariah. Dengan kata lain NU cenderung pada penampakan hilal dan Muhammadiyah lebih cenderung pada eksistensi hilal.
Untuk solusi, sebaiknya Muhammadiyah dan NU segera melakukan kajian kerja sama dengan pendekatan akademik-ilmiah melalui research development dari kalangan pemikir dan ahli di bidangnya. Sementara itu, pemerintah menjadi fasilitator tanpa intervensi agar kebersamaan dapat dikembangkan dalam memformulasikan kalender Islam nasional.
Ade Faizal Alami
Sumber : GATRA, edisi 28 Maret – 3 April 2013, p. 61.
Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam