Mendamaikan Kalender Muhammadiyah dan NU

Bermula dari beda cara pandang menyikapi doktrin keagamaan, Muhammadiyah dan NU selalu berbeda pendapat dalam menentukan awal Ramadan. Model Integrasi menjadi solusi?

Dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki model beragam dalam menggunakan metode hisab dan rukyat. Model pertama, menurut Susiknan Azhari, guru besar ilmu falak UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, adalah konflik.
Pemicunya, persoalan politik dan cara pandang keagamaan dua ormas itu. Muhammadiyah berpandangan, antara wahyu dan akal harus berjalan seirama dalam rangka menuju masyarakat utama. Di sisi lain, NU berpendapat, dalam beragama harus melalui sanad (silsilah keilmuan) yang jelas melalui pendekatan madzhab agar diperoleh kepastian hokum.
Kaitannya dengan persoalan penetapan awal Ramadan dan Syawal, menurut penulis yang juga Direktur Museum Astronomi Islam itu, NU mendasarkan pada rukyatul hilal (melihat hilal). Sebab rukyatul hilal dianggap memiliki sanad yang jelas melalui kitab-kitab yang mu’tabarah (sanadnya tersambung hingga Nabi).
Sementara itu, Muhammadiyah mempertautkan antara dimensi ideal wahyu dan peradaban manusia. Sehingga Muhammadiyah tidak semata-mata menggunakan rukyat, melainkan juga menggunakan hisab (perhitungan). Pada awalnya, hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah imkanur rukyat, kemudian hisab hakiki dengan criteria ijtima’ qabla al-ghurub, dan sejak tahun 1938 M/1357 H hingga kini menggunakan hisab hakiki wujudul hilal.
Adapun model kedua adalah independensi. Model ini untuk menghindari konflik antara hisab dan rukyat. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pragmatis. Lebih baik hisab dan rukyat dipisah dalam dua kawasan yang berbeda. Khususnya dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal, gunak menghindari perbedaan antara Muhammadiyah dan NU.
Model ketiga adalah dialog dengan terbentuknya Badan Hisab dan Rukyat. Model ini memotret hubungan yang konstruktif antara Muhammadiyah dan NU, terutama persoalan hisab dan rukyat. Pada model ini, setiap pihak mencoba saling memahami untuk mencari titik temu dengan memperhatikan aspek kesejajaran metode antara hisab dan rukyat. Dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan dan metode. Namun, model dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual.
Model keempat adalah integrasi, yang merupakan konsekuensi logis dan sekaligus tuntutan alamiah dari pandangan dialog. Namun, sayangnya menurut Susiknan, model ini baru tataran ide, sehingga perlu dibentuk upaya kerja sama akademik dan ilmiah.
Model konflik sangat terasa pada tahun 1992, 1993, dan 1994. Meskipun tidak terjadi kerusuhan dan percekcokan serius antara anggota Muhammadiyah dan NU pada tahun itu, banyak orang merasa bahwa kesucian bulan Ramadan sudah dicemari, dan kekhusyukan beribadah terganggu.
Sebagai solusi, pasca-1994 berkembang model independensi, ketika disadari bahwa perbedaan itu hanya bersifat metodologis dan tidak perlu dibesarkan. Perbedaan antara hisab dan rukyat itu tidak begitu bermakna. Perbedaan itu rahmat. Pada tahun 1998, model dialog berkembang ditandai diadakan Musyawarah Ulama Ahli Hisab Rukyat dan Ormas Islam tentang kriteria Imkanurrukyat di Indonesia.
Kecenderungan ke model integrasi terjadi pada tahun 2003, ketika diadakan Seminar Nasional Hisab dan Rukyat oleh Badan Litbang Agama dan diklat Keagamaan Departemen Agama, yang ditindaklanjuti dengan Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriah pada tanggal 18-19 Desember 2005 oleh Departemen Agama RI.
Dengan munculnya model independensi tidak berarti ciri-ciri model konflik telah hilang. Sama halnya dengan kehadiran model dialog, tidak serta merta ciri-ciri model konflik dan independensi berakhir. Begitu pula kemunculan model integrasi tidak berarti ciri-ciri model sebelumnya juga tidak ada. Dengan kata lain, tipologi hubungan Muhammadiyah dan NU dalam menggunakan hisab dan rukyat lebih bersifat teoritis. Namun pada tataran empiris, terjadi tumpang tindih model yang satu dengan lainnya.
Menurut Susiknan, baik Muhammadiyah maupun NU mengakui eksistensi hisab dan rukyat. Hanya saja, dalam prakteknya, NU mendasarkan pada rukyat, sedangkan Muhammadiyah mendasarkan pada hisab. Bagi NU hisab hanya berfungsi sebagai “pembantu” pelaksanaan rukyatul hilal sedangkan bagi Muhammadiyah hisab berfungsi sebagai “penentu” awal bulan kamariah. Dengan kata lain NU cenderung pada penampakan hilal dan Muhammadiyah lebih cenderung pada eksistensi hilal.
Untuk solusi, sebaiknya Muhammadiyah dan NU segera melakukan kajian kerja sama dengan pendekatan akademik-ilmiah melalui research development dari kalangan pemikir dan ahli di bidangnya. Sementara itu, pemerintah menjadi fasilitator tanpa intervensi agar kebersamaan dapat dikembangkan dalam memformulasikan kalender Islam nasional.

Ade Faizal Alami

Sumber : GATRA, edisi 28 Maret – 3 April 2013, p. 61.
Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam

Gerhana Bulan Sebagian 25 – 26 April 2013 (GBS – 26April 2013)

Gerhana Bulan 2013

Bila kedudukan Matahari berada dekat dengan titik simpul (titik potong) orbit Bulan terhadap ekliptika, maka kondisi tersebut merupakan tanda bahwa akan datang fenomena gerhana Bulan maupun gerhana Matahari. Secara ringkas kondisi tersebut dinamakan sebagai musim gerhana. Siklus kehadiran musim gerhana antara 5 hingga 6 bulan, setahun gerhana rata – rata 346.62 hari. Pada tahun 2013 terdapat dua musim gerhana, pada musim gerhana pertama akan berlangsung secara berurutan Gerhana Bulan Sebagian 25 – 26 April 2013 (GBS 25-26April 2013), kemudian gerhana Matahari Cincin-10 Mei 2013 dan diakhiri dengan Gerhana Bulan Penumbra 25 Mei 2013 (GBP-25 Mei 2013). Sedangkan pada musim gerhana kedua akan berlangsung secara berurutan Gerhana Bulan Penumbra 18 Oktober 2013, Gerhana Matahari Hibrida 3 November 2013 (GMH 3 November 2013). Jadi pada tahun 2013 terdapat 3 (tiga) gerhana Bulan dan 2 (dua) gerhana Matahari Gerhana.

GBS – 26April 2013
GBS – 26April 2013 dapat disaksikan di wilayah Indonesia, Asia Tenggara, India, Cina, Arab Saudi, Negara- Negara Timur Tengah dan Afrika.
GBS – 26April 2013 merupakan gerhana bulan ke 65 dari 72 gerhana bulan dalam seri Saros 112. Di Indonesia Gerhana Bulan ini bertepatan dengan pertengahan Jumadil Akhir 1434 H berlangsung pada hari Jum’at dini hari tanggal 26 April 2013 dan dapat disaksikan dari seluruh wilayah Indonesia:
Secara ringkas jadual gerhana Bulan Sebagian pada hari Jum’at dini hari tanggal 26 April 2013 adalah sebagai berikut:
Pada jam 01:04 wib Bulan mulai memasuki penumbra Bumi, fase gerhana bulan penumbra dimulai. Sekitar 1 jam 50 menit kemudian yaitu pada jam 02:54 wib Bulan mulai memasuki umbra Bumi, pertanda fase gerhana Bulan Sebagian dimulai. Pada jam 03:07 wib Bulan berada dekat dengan sumbu umbra Bumi, merupakan pertanda gerhana Bulan Sebagian mencapai maksimum. Pada jam 03:21 wib Bulan meninggalkan kawasan Umbra Bumi, tanda gerhana Bulan sebagian berakhir dan gerhana Bulan memasuki fase gerhana Bulan Penumbra kedua. Fase gerhana Bulan Penumbra kedua akan berakhir pada jam 05:11 wib, saat Bulan meninggalkan kawasan penumbra Bumi. Tanda seluruh rangkaian gerhana Bulan Sebagian GBS – 26 April 2013 telah selesai dan permukaan Bulan menerima sorot cahaya Matahari secara penuh tanpa ada halangan planet Bumi. Fase Bulan Purnama berlangsung tanggal 26 April 2013 pada jam 02:57 wib, sekitar 3 menit setelah momen gerhana Umbra dimulai pada jam 02:54 wib.
Pada umumnya seluruh wilayah Indonesia dapat menyaksikan gerhana bulan sebagian tersebut. Di Indonesia wilyah timur (Samarinda, Manado, Gorontalo, Mamuju, Makassar, Kendari, Ternate, Ambon, Sorong, Jayapura, Kupang) tidak dapat menyaksikan momen akhir gerhana bulan Penumbra karena Bulan sudah terbenam sebelum momen gerhana Bulan Penumbra selesai. Misalnya di Bandung GBS dapat disaksikan dari awal hingga akhir pada saat kedudukan Bulan dengan tinggi +43 derajat (pada jam 02:54 wib) hingga +36 derajat (pada jam 03:21 wib). Ternate dengan tinggi +21 derajat (pada jam 02:54 wib) hingga +15 derajat (pada jam 03:21 wib).
GBS – 26 April 2013 bersamaan dengan momen Bulan menyeberang ekliptika menuju selatan ekliptika, titik potong orbit dengan ekliptika berada di Selatan rasi Virgo (12 derajat timur bintang terang Spica). Lama gerhana Bulan Sebagian sekitar 27 menit (dari jam 02:54 wib hingga jam 03:21 wib), pada gerhana Bulan Sebagian mencapai maksimum , sekitar 1.47% bundaran Bulan yang berada di Umbra Bumi. Kira – kira setengah (0.5) menit busur bagian Utara bundaran Bulan berada di kawasan Umbra Bumi. Mungkin perlu mengamati dengan seksama saat gerhana Umbra dimulai, hanya sebagian kecil pinggir Bundaran Bulan yang menghitam. Pengamatan dengan bantuan teleskop kecil maupun binokuler akan memperjelas berlangsungnya fenomena gerhana Bulan Sebagian. Setiap gerhana Bulan unik, perlu diabadikan untuk ditelaah lebih jauh.
Gerhana Bulan Sebagian hari Jum’at dinihari (jam 02:54 wib – 03:21 wib) tanggal 26 April 2013 tersebut merupakan gerhana Bulan yang tipis, maksimum hanya 1.5 % bagian Bulan yang memasuki umbra Bumi. Momen shalat gerhana yang berdekatan dengan shalat tahajud, mudah – mudahan dapat dimanfaatkan untuk pembinaan spiritualitas manusia pada malam hari.
Bagi yang ingin mengabadikannya memerlukan teleskop agar citra Bulan cukup besar. Gerhana Bulan tidak berbahaya untuk ditatap mata manusia. Mengingat waktu seluruh momen gerhana dimulai 01:04 wib hingga 05:11 wib, perlu mempersiapkan stamina dan perlengkapan untuk melawan kantuk dan dingin. Mudah – mudahan udara cerah sehingga kita dapat menyaksikan gerhana Bulan sebagian yang amat tipis hampir seperti kesulitan melihat hilal yang tipis.

Bandung, 23 April 2013

Dr. Moedji Raharto

Anggota Kelompok Keilmuan Astronomi
FMIPA ITB

Sumber Foto :www.google.com

Kontribusi Peradaban Islam di Bidang Literatur Astronomi

Buku Ishâmât al-Hadhârah al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah fî ‘Ulûm al-Falak karya: Cultnat, Bibliotheca Alexandria, UNESCO & Al-Azhar ini merupakan hasil penelitian yang secara khusus mengulas literatur-literatur astronomi Islam (ilmu falak) yang masih berbentuk manuskrip yang terdapat di Perpustakaan Al-Azhar Mesir. Buku ini terbit dalam tiga versi bahasa: Arab, Inggris dan Prancis. Selain itu juga tersedia dalam bentuk CD. Buku ini merupakan hasil kerja dan proyek bersama para peneliti yang tergabung dalam empat lembaga penelitian: Cultnat, Bibliotheca Alexandria, UNESCO dan Al-Azhar. Buku dengan kemasan ekslusif ini berisi deskripsi umum sejumlah 434 manuskrip dan 136 pengarang (mu’allif) yang ada di Perpustakaan Al-Azhar. Seluruh literatur ini berbahasa Arab kecuali beberapa berbahasa Turki dan Persia. Sebagian besar literatur-literatur ini masih berbentuk manuskrip dan belum banyak terjamah oleh peneliti dan sejarawan sains baik dalam bentuk tahkik, penelitian (dirasah) maupun kajian tokoh. Secara umum manuskrip-manuskrip (baca: literatur-literatur) astronomi yang terdapat di Perpustakaan Al-Azhar ini meliputi empat kategori literatur: (1) Alat-alat astronomi (al-ajhizah al-falakiyyah), yaitu literatur-literatur yang secara khusus membicarakan satu atau beberapa alat-alat astronomi klasik seperti: astrolabe, da’irah al-mu’addal, al-mizwalah, dan rub’ al-mujayyab. Beberapa literatur diantaranya dapat disebutkan: “Tuhfah at-Thullab fi al-‘amal bi al-Usthurlab” karya Abu al-Qasim b. ash-Shaffar (w. ± abad 5 H), “Jami’ al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi al-‘Amal bi ash-Shafihah az-Zarqaliyyah” karya: al-Hasan b. Ali al-Marrakusyi (w. ± 680 H), “Risalah fi Da’irah al-Mu’addal” karya Abdul Aziz al-Wafa’i (w. 879 H), (2) Berkaitan kalender dan waktu (at-taqwim wa al-auqat), yaitu literatur-literatur yang membicarakan peran dan fungsi kalender (waktu) dalam Islam seperti penentuan awal bulan, penentuan waktu-waktu salat, dan penentuan arah kiblat. Selain itu juga membicarakan hal-hal terkait seperti penentuan (penanggalan) gerak dan perubahan posisi benda-benda langit di cakrawala, atau hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia sehari-hari. Beberapa literatur diantaranya: “Syifa’ul Asqam fi Wadh’ as-Sa’at ‘ala al-Haythan wa ar-Rakham” karya Jamal al-Din ash-Shufi (w. 719 H), “al-Lum’ah fi Hall as-Sab’ah” karya Ahmad al-Kaum ar-Risyi (w. 836 H), “al-Manhal al-‘Adzb az-Zulal fi Hall at-Taqwim wa Ru’yah al-Hilal” karya Ahmad b. Rajab al-Majdi (w. 850 H), (3) Tentang fenomena bulan, matahari, zodiak dan planet-planet. Pergerakan dan perubahan posisi benda-benda langit merupakan fenomena menarik. Aneka fenomena benda-benda langit ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat zaman lampau. Tidak jarang pula fenomena ini merambat pada hal-hal yang bersifat mistis yang dikenal dengan nujum atau astrologi. Oleh karena itu terdapat sejumlah literatur yang mengkaji fenomena-fenomena tersebut. Literatur-literatur yang dapat disebutkan antara lain: “at-Tafhim li Awa’il Shina’ah at-Tanjim” karya Abu Raihan al-Biruni (w. 440 H), dimana buku ini selain mengkaji fenomena perbintangan juga mengkaji teori dan terminologi instrumen astronomi astrolabe. “Shuwar al-Kawakib ats-Tsabitah” karya Abd ar-Rahman ash-Shufi (w. 376 H), “al-Madkhal ila ‘Ilm Ahkam an-Nujum” karya Abu Nashr al-Qumi (w. ± abad 4 H), (4) Tentang penentuan arah & sudut (al-a’mal al-jaibiyyah). Beberapa literatur yang dapat disebutkan antara lain: “Idhah al-Mughib fi al-‘Amal bi ar-Rub’ al-Mujayyab” karya Ibnu Syathir (w. 777 H), “al-Fathiyyah fi al-A’mal al-Jaibiyyah” karya Jamal ad-Din al-Mardini (w. 809 H), “Jadwal Falakiyyah” karya Ibnu Yunus (w. 399 H).
Pembahasan dalam buku ini secara berurutan dapat disebutkan sebagai berikut:(1) Mukadimah. Yaitu berupa pengantar umum sejarah dan perkembangan astronomi dalam peradaban Arab-Islam serta peranan (aplikasi) nya bagi umat Islam yang ditulis oleh Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya (Peneliti, Guru Besar Fisika Universitas Kairo & anggota akademi bahasa Arab Republik Arab Mesir) dengan judul: ‘Ilm al-Falak wa Tathbiqatuhu fi al-Hadharah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (Ilmu falak dan aplikasinya dalam peradaban Arab-Islam). Selain memberi pengantar, Prof. Dr. Ahmad Fuad Basya juga bertindak sebagai supervisor (musyrif) terhadap buku (penelitian) ini, (2) Sampel manuskrip, bagian ini ditampilkan beberapa contoh manuskrip dengan keterangan ringkas isi (bahasan) manuskrip, pengarangnya, serta dilengkapi dengan 1-2 lembar manuskrip, (3) Mu’jam atau kamus beberapa terminologi penting astronomi klasik, penjelasan (definisi) dan padanannya dalam bahasa Inggris. Beberapa istilah ini sangat membantu bagi para peneliti pemula dalam mengenal istilah-istilah astronomi klasik, (4) Lampiran (mulhaq), yang terdiri dari tiga lampiran. Lampiran pertama tentang hisab al-jummal, yaitu hisab (perhitungan) angka dengan menggunakan huruf dimana hal ini banyak tertera dalam literatur-literatur astronomi klasik. Lampiran kedua berupa pengenalan ringkas astrolabe dan penggunaannya yang dilengkapi dengan keterangan gambar. Sementara lampiran ketiga berupa daftar & keterangan zodiak langit & manzilah matahari dan bulan.
Sementara itu pada bagian akhir buku ini berisi daftar detail seluruh literatur yang berjumlah 434 naskah (manuskrip). Daftar tersebut berupa: judul buku (manuskrip), pengarang, tahun wafat pengarang, tahun ditulisnya naskah, dan nomor kode manuskrip. Daftar detail 434 naskah ini sangat berguna bagi para peneliti dan pengkaji astronomi pemula maupun pengkaji tingkat lanjut untuk melihat gambaran umum sejarah, karakter dan perkembangan astronomi Islam sejak era awal (mulai abad 3/9) hingga era belakangan (abad 12-13/18-19). Melalui tampilan dan uraian buku Ishâmât al-Hadhârah al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah fî ‘Ulûm al-Falak ini setidaknya membuka pikiran kita betapa cemerlangnya kreatifitas dan inovasi ulama-ulama astronomi Islam (falak) silam.

Cairo, 09 Jumadil awal 1433/ 01 April 2012

Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar

Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam

Memahami Hisab Rukyat di Tengah Kemelut Perbedaan

Ilmu falak bisa dikatakan sebagai salah satu cabang ilmu yang relatif sukar dipelajari. Tidak semua orang bisa menguasainya. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan terbatasnya literatur-literatur yang membahas secara komprehensif tentang ilmu falak.
Dengan demikian, terbitnya edisi revisi buku Ensiklopedi Hisab Rukyat karya Dr. Susiknan Azhari ini merupakan angin segar bagi kita untuk lebih dalam mempelajari ilmu falak. Walaupun tidak serinci karya-karya tentang ilmu falak yang ditulis sebelumnya, buku ini paling tidak mempunyai nilai signifikansi yang berbeda, yakni diperkenalkannya kita tentang istilah serta tokoh-tokoh ahli hisab dan rukyat dunia yang memiliki karya cukup representatif. Selain itu buku ini juga mencoba menjembatani perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam yang berpotensi menimbulkan “konflik”.
Ilmu falak sendiri di Indonesia seperti pada umumnya dibagi dalam dua aliran besar, yakni hisab dan rukyat. Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada Kalender Hijriyah. Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (Bulan Baru).
Secara harfiyah hisab bermakna “perhitungan”. Di dunia Islam istilah “hisab” sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Pentingnya penentuan posisi matahari karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam Kalender Hijriyah. Ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal Syawwal saat orang mangakhiri puasa dan merayakan Idul Fithri, serta awal Dzul-Hijjah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzul-Hijjah) dan ber-Idul Adha (10 Dzul-Hijjah).
Dalam al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu astronomi (disebut ilmu falak). Salah satu astronom Muslim ternama yang telah mengembangkan metode Hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Kwarizmi, Al Batani, dan Habash.
Sedangkan rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 8 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging.

Metode Penentuan Kriteria

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung (rukyatul hilal). Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Metode hisab juga memiliki berbagai kriteria penentuan, sehingga seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jum’at (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.
Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan, bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Akhirnya, semoga buku ini betul-betul menjembatani perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam sendiri sebagaimana yang diharapkan oleh penulisnya. Amin!

Yusrianto Fadil
Sumber : www.kabarindonesia.com
Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam/Fotografer Imam Nurwanto

Hilal antara Idealita dan Realita

Al-Ahillah : Nazhrah Syumuliyah wa Dirasat Falakiyyah merupakan karya Adnan Abdul Mun’im Qadhy. Buku ini mengulas persoalan hilal dari berbagai aspek dan faktor dalam kaitannya dalam penentuan awal bulan. Buku ini juga secara tegas menyatakan bahwa antara ilmu dan agama (Islam) tidak ada pertentangan. Buku ini mengulas secara komprehensif tentang persoalan hilal dari sudut pandang syari’at (fikih) dan sains (astronomi) dan secara ringkas menerangkan gambar/ilustrasi ilmiah pembahasan. Buku ini diawali pembahasan/penjelasan tentang fenomena langit (bumi, bulan dan matahari) yang terdapat di dalam al-Qur’an serta kaitannya dengan aktifitas ibadah umat Islam. Berikutnya dijelaskan tentang definisi rukyat, hisab dan hilal dari perspektif nash dan sains secara proporsional. Didalamnya juga dijelaskan tentang ikhtilaf dan ittihad al mathali’ sekaligus tinjauan kritis tentang hadis Kuraib. Secara umum buku ini membahas persoalan sekaligus perdebatan rukyat & hisab serta tata caranya secara ilmiah beserta argumennya secara objektif. Disamping itu juga disinggung secara singkat pembahasan-pembahasan tentang kapan dimulai hari, bulan dan tahun, pembahasan tentang fase-fase bulan, serta pembahasan tentang nujum atau astrologi dengan zodiak-zodiaknya dalam tinjauan astronomi dan al-Qur’an. Buku buah karya Adnan Abdul Mun’im Qadhi ini adalah karya yang sangat baik dibaca oleh orang-orang yang mendalami persoalan hilal atau persoalan penentuan awal bulan. Buku ini, yang pada awalnya berjudul “dawr zhawahir thabi’iyyah fi tahdid takalif syar’iyyah” adalah karya yang mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak sebagaimana tertera di bagian awal buku ini. Tanggapan-tanggapan tersebut antara lain dari Kementerian Dalam Negeri (Wizarah ad Dakhiliyyah) Arab Saudi, Lembaga Riset Al Azhar (Majma’ al Buhuts al Islamiyyah), Fakultas Sains jurusan Ilmu Falak Universitas Malik Abdul Aziz Arab Saudi, dan Kementerian Pendidikan Tinggi (Wizarah Ta’lim al A’liy) melalui Universitas Malik Fahd lil Bitrul wal Ma’adin jurusan Fisika.

Arwin Rakhmad Juli Butar-Butar
Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam