Ilmu falak bisa dikatakan sebagai salah satu cabang ilmu yang relatif sukar dipelajari. Tidak semua orang bisa menguasainya. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan terbatasnya literatur-literatur yang membahas secara komprehensif tentang ilmu falak.
Dengan demikian, terbitnya edisi revisi buku Ensiklopedi Hisab Rukyat karya Dr. Susiknan Azhari ini merupakan angin segar bagi kita untuk lebih dalam mempelajari ilmu falak. Walaupun tidak serinci karya-karya tentang ilmu falak yang ditulis sebelumnya, buku ini paling tidak mempunyai nilai signifikansi yang berbeda, yakni diperkenalkannya kita tentang istilah serta tokoh-tokoh ahli hisab dan rukyat dunia yang memiliki karya cukup representatif. Selain itu buku ini juga mencoba menjembatani perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam yang berpotensi menimbulkan “konflik”.
Ilmu falak sendiri di Indonesia seperti pada umumnya dibagi dalam dua aliran besar, yakni hisab dan rukyat. Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada Kalender Hijriyah. Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (Bulan Baru).
Secara harfiyah hisab bermakna “perhitungan”. Di dunia Islam istilah “hisab” sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Pentingnya penentuan posisi matahari karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam Kalender Hijriyah. Ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal Syawwal saat orang mangakhiri puasa dan merayakan Idul Fithri, serta awal Dzul-Hijjah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzul-Hijjah) dan ber-Idul Adha (10 Dzul-Hijjah).
Dalam al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap ilmu astronomi (disebut ilmu falak). Salah satu astronom Muslim ternama yang telah mengembangkan metode Hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Kwarizmi, Al Batani, dan Habash.
Sedangkan rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 8 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging.
Metode Penentuan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung (rukyatul hilal). Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Metode hisab juga memiliki berbagai kriteria penentuan, sehingga seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jum’at (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.
Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan, bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Akhirnya, semoga buku ini betul-betul menjembatani perbedaan-perbedaan di kalangan umat Islam sendiri sebagaimana yang diharapkan oleh penulisnya. Amin!
Yusrianto Fadil
Sumber : www.kabarindonesia.com
Sumber Foto : Dokumen Museum Astronomi Islam/Fotografer Imam Nurwanto