
Residu Penetapan Awal Ramadan 1443 H
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar Kepala OIF UMSUHari-hari hiruk pikuk soal hilal dan awal bulan Ramadan 1443 H telah berlalu. Muhammadiyah melalui maklumatnya Nomor 01/MLM/I.0/E/2020 Tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1443 H menetapkan hari Sabtu, 2 April 2022 sebagai awal Ramadan yang telah ditetapkan sejak jauh hari. Sementara Kementerian Agama, Nahdlatul Ulama, dan ormas lainnya menetapkan hari Ahad, 3 April 2022 sebagai awal Ramadan yang ditandai dan diawali dengan prosesi Sidang Isbat oleh Kementerian Agama yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
Tidak dipungkiri, sejak pra Sidang Isbat ada banyak dialektika dan dinamika di tengah masyarakat, terlebih di media sosial, yaitu tentang pertanyaan kapan awal Ramadan jatuh? Metode dan kriteria apa dan siapa yang paling sahih? Pertayaan-pertanyaan ini wajar muncul karena memang sejak beberapa tahun terakhir (sejak 2015) nyaris tidak ada perbedaan dalam memulai puasa maupun idul fitri. Betapapun demikian, secara teoretis perbedaan awal Ramadan 1443 H tahun ini memang sudah diprediksi akan terjadi.
Bila dicermati, dinamika dan dialektika perbedaan penentuan awal Ramadan kali ini juga terjadi di kalangan para ahli, pakar, dan pemerhati, terutama di media sosial. Tidak dipungkiri, dinamika dan dialektika oleh orang-orang yang dianggap paham masalah ini ikut memicu masyarakat awam menjadi ‘bingung’ dan ‘berkomentar’ karena masif dan intensnya diskusi yang menjurus ‘brutal’ yang ditunjukkan dengan saling klaim, saling sanggah, saling menonjolkan keunggulan pendapat dan paham, dan seterusnya. Fenomena ini memang tidak dapat terhindarkan sebagai konsekuensi kemudahan dan keterbukaan akses informasi di media sosial. Secara sosio-religius, dinamika ini muncul sesungguhnya adalah karena kurangnya wawasan keagamaan dan literasi fikih umat Islam, dimana jika dipahami persoalan ini sesungguhnya adalah dialektika yang biasa, karena berakar dari penafsiran (ijtihad) dan lazim terjadi di kalangan ulama sejak lama.
Selanjutnya, adapun beberapa hal yang tersisa (residu) dan menarik ditelaah dalam penetapan awal Ramadan 1443 H tahun ini antara lain sebagai berikut:
Pertama, Kementerian Agama telah merubah kriteria penentuan awal bulannya dari 2-3-8 menjadi 3-6,4. Perubahan ini juga merupakan hasil kesepakatan bersama 4 negara Asia Tenggara yang tergabung dalam forum MABIMS yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Secara teori dan konsep imkan rukyat, perubahan dari 2-3-8 kepada 3-6,4 ini tentu cukup baik dan merupakan langkah maju, sebab lebih logis dan ilmiah, dan untuk penerapannya di awal Ramadan kali ini berjalan aman. Namun patut dicatat, secara etik-administratif proses pengambilan dan perubahan keputusan tersebut dinilai sepihak dan tidak transparan karena tidak melibatkan sepenuhnya ormas, ketiadaan uji publik, serta ketiadaan notulensi dan dokumentasi proses dan kesimpulan. Dalam konteks Indonesia, pelibatan ormas dalam unifikasi dan penetapan awal bulan hijriah, apakah dalam skop nasional maupun MABIMS, adalah niscaya karena dalam realitanya ormas memiliki massa dan mekanisme yang sudah berjalan sejak lama. Dalam perkembangannya, pasca ditandatanganinya imkan rukyat 3-6,4, Kementerian Agama melalui Dirjen Bimas Islam (ditandatangani oleh Kamaruddin Amin) menyurati berbagai pihak untuk mensosialisasikan kriteria itu di masyarakat, beberapa pihak itu salah satunya adalah Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam. Namun tampaknya baru Nahdlatul Ulama yang memberi respons yang ditunjukkan dengan penerimaan 3-6,4 tersebut, adapun Muhammadiyah biasa-biasa saja.
Dalam perkembangannya, rumusan 3-6,4 yang notabenenya berasal dari hasil pertemuan “Muzakarah Rukyat dan Takwim Islam Negara Anggota MABIMS 2016” di Negeri Sembilan Malaysia, selanjutnya diadopsi dalam putusan Rekomendasi Jakarta 2017, sesungguhnya banyak mendapat respons dan kritikan (baik secara konsep, metode, mekanisme, dan kompatibilitas kriterianya), baik secara formal maupun non formal. Namun yang teramat disayangkan, menurut salah seorang ilmuwan yang tergabung dalam tim Unifikasi Kalender Hijriah (UKH) Kemenag, rumusan tersebut sama sekali tidak ada respons maupun tanggapan atasnya. Padahal, sejumlah anggota Tim UKH telah secara resmi dan formal memberi masukan dan kritikan dalam bentuk paper ilmiah. Namun sekali lagi disayangkan hal ini dinafikan oleh ilmuwan tersebut betapapun telah dikonfrontir dengan berkilah lupa dan luput. Dalam praktiknya, sejumlah anggota tim UKH memberikan respons, terlepas respons itu alternatif atau tidak, termasuk penulis sendiri telah memberi respons (kritik dan masukan) yang kala itu masih tercatat sebagai anggota tim UKH. Masukan-masukan dari tokoh yang mewakili lembaga masing-masing itu juga cukup menarik dan variatif. Karena itu, statemen sang ilmuwan “tidak ada respons” atas 3-6,4 yang dipublis di blog pribadinya sejatinya adalah pernyataan egois dan menafikan realita. Stigma ini dengan sadar penulis nyatakan sebab karena betapapun sudah diingatkan namun yang bersangkutan tak kunjung meralat, apatah lagi meminta maaf. Merupakan kearifan, dalam mencapai sebuah tujuan yang baik meniscayakan cara, proses, dan adab yang baik pula.
Kedua, beberapa hari sebelum prosesi Sidang Isbat, Nahdlatul Ulama membuat gebrakan dengan merubah kriterianya dari yang semula rukyat dengan standar imkan rukyat 2-3-8 menjadi rukyat dengan standar imkan rukyat 3-6,4. Perubahan itu tertuang dalam Surat Keputusan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Nomor 001/SK/LF-PBNU/III/2022 tentang Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama. Perubahan ini tentu dengan pemikiran, pengkajian, dan pertimbangan matang. Perubahan ini cukup menarik karena dilakukan persis beberapa hari sebelum tanggal 29 Syakban 1443 H, yaitu hari pelaksanaan rukyat menentukan tanggal 1 Ramadan 1443 H. Agaknya tidak dapat ditafsirkan lain bahwa pengadopsian kriteria 3-6,4 ini merupakan adaptasi atas kriteria baru Kemenag tersebut, yang dapat ditafsirkan lagi dengan irisan karena Menteri Agama dan Wakil Presiden saat ini berasal dari Nahdlatul Ulama, terlebih lagi unsur di Kementerian Agama yang sedang diberi amanah saat ini mayoritas berasal dari Nahdlatul Ulama.
Dalam rilis dan penjelasan aspek syariat-ilmiah perubahan dari 2-3-8 menjadi 3-6,4 tersebut dikemukakan dengan sangat baik dan argumentatif. Dalam konteks Nahdlatul Ulama, perubahan ini tentu paralel dan kompatibel alias perubahan yang masih dalam kerangka rukyat dan imkan rukyat, yang tidak demikian halnya dengan Muhammadiyah yang masih dalam kerangka hisab. Karena itu, penegasan bahwa imkan rukyat 3-6,4 ini sebagai jalan tengah penyatuan kalender Islam di Indonesia sesungguhnya tidak tepat dan tidak dapat diposisikan solusi, karena itu pula tampaknya Muhammadiyah tidak meliriknya.
Ketiga, Muhammadiyah yang telah sejak jauh hari memutuskan awal Ramadan 1443 H jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022 M, konsisten dengan metode dan kriteria “Hisab Hakiki Wujudul Hilal”. Bahkan ditengah hiruk pikuk soal hilal dan potensi perbedaan awal Ramadan 1443 H itu, Muhammadiyah malah memperdalam konsep “Kalender Islam Global Tunggal” (at-Taqwim al-Hijry al-‘Alamy al-Uhady) yang memang sejak lama telah digarap, momen itu adalah pada “Focus Group Discussion Penyusunan Kalender Hijriah Global dan Kalender Hijriah Muhammadiyah” yang dilaksanakan pada hari Rabu, 27 Syakban 1443 H/30 Maret 2022 M, di Pusat Tarjih Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sejumlah pakar falak Muhammadiyah hadir baik secara luring maupun daring membahas hal ini, bahkan kajian telah sampai dalam analisis dan perhitungan, dan sedang dirancang sebuah software khusus Kalender Islam Global.
Sejak lama, Muhammadiyah tidak tertarik dengan diskursus lokal, karena itu pula perubahan 2-3-8 ke 3-6,4 ini tidak menjadi konsentrasi Muhammadiyah, betapapun diskursusnya di media sosial cukup intens. Sebab seperti diketahui, antara Wujudul Hilal dengan Imkan Rukyat sesungguhnya berbeda. Wujudul Hilal menekankan eksistensi hilal di atas ufuk, sementara Imkan Rukyat (dengan parameter ketinggian berapa saja) menekankan keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan hilal diatas ufuk. Karena itu, jika perubahannya masih dalam ranah keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan, terlebih lagi masih dalam skop lokal, sama sekali tidak menjadi prioritas Muhammadiyah. Karena itu diskusi dan debat hal ini tampaknya masih akan dinamis, baik di forum resmi maupun di media sosial.
Keempat, di sejumlah berita online beredar informasi bahwa Muhammadiyah tidak diundang dalam Sidang Isbat penetapan awal Ramadan 1443 H tahun ini sebagaimana dikemukakan Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Adapun keberadaan dan kehadiran Dr Sriyatin Shodiq (MTT PP Muhammadiyah dan sekaligus anggota Tim UKH Kemenag) menurut Abdul Mu’ti tidak merepresentasikan perwakilan Muhammadiyah. Sebab menurutnya, representasi utusan Muhammadiyah ditunjukkan dengan adanya surat tugas kepada yang bersangkutan untuk menghadiri forum resmi. Sejauh ini Muhammadiyah tidak pernah mengeluarkan surat tugas karena memang tidak ada surat masuk ke PP Muhammadiyah untuk menghadiri forum Sidang Isbat tersebut. Ini berbeda dengan tahun lalu, yang menurut Abdul Mu’ti Muhammadiyah diundang dan mengirimkan utusan.
Dalam kenyataannya lagi, kehadiran Sriyatin Shodiq yang dalam pemaparannya mewakili Muhammadiyah, secara formal-administratif sesungguhnya adalah utusan Kepala Pengadilan Agama Palangkaraya Kalimantan Tengah. Karena itu, betapapun ia memberikan pandangan mewakili Muhammadiyah maka itu lebih bersifat pribadi dan inisiatif pribadi pula. Beredarnya berita ini tampaknya hanya masalah administratif sederhana, yaitu kelalaian Kementerian Agama mengirimkan surat resmi kepada PP Muhammadiyah, namun tampaknya Kementerian Agama enggan meralat dan meminta maaf sehingga persoalan berkepanjangan.